Pengembangan pembangkit listrik berbasis tenaga panas bumi dalam proyek 10.000 Megawatt (MW) tahap kedua ditargetkan bisa mencapai 4.925 MW, namun untuk merealisasikan target tersebut diperkirakan membutuhkan investasi lebih dari US$15miliar.
Guna memenuhi target tertinggi tersebut dibutuhkan dukungan internasional berupa pendanaan, tekhnologi, sumber daya manusia dan juga bantuan teknis, makanya tidak mengherankan jika saat ini bisnis pengembangan pembangkit listrik panas bumi di Indonesia dimana 95 persen dilakukan perusahaan asing.
Tahun ini pemerintah melakukan penawaran atau lelang tiga belas wilayah kerja (WKP) panas bumi dengan perkiraan memiliki cadangan yang dapat dikembangkan sebesar 1499 MW yaitu WKP Songa Wayaua (Maluku) kemudian Bonjol (Sumatera Barat), lalu Mataloko (NTT). Selain itu, WKP Gunung Lawu yang terletak diantara Jawa Tengah dan Jawa Timur, kemudian Candi Umbul Telomoyo (Jawa Tengah), Danau Ranau yang terletak di antara Sumatera Selatan dan Lampung, lalu Oka Ille Ange (NTT) dengan kapasitas 1x3 MW, WKP Suwawa (Gorontalo). WKP lain yaitu Marana (Sulawesi Tengah), Way Ratai (Lampung), Simbolon Samosir (Sumatera Utara), Sembalun (NTB) dan juga Gunung Endut (Banten).
Permasalahan pengembangan panas bumi terkait dengan resiko tinggi disisi pengembangan lapangan uap (resiko ketidakpastian keberhasilan pemboran untuk menghasilkan uap) dan kebutuhan pendanaan tinggi (non-quick yielding, dengan income yang baru terealisasi setelah 5-6 tahun masa pra produksi). Tekhnikal dan kompetensi bisnis serta teknologi yang disertai kemampuan pendanaan menjadi tantangan bagi pengembang untuk mewujudkan potensi pemanfaatan energi panas bumi untuk tumpuan energi masa depan selama jaminan iklim investasi pengembangan panas bumi kondusif.
Selain itu pengembangan panas bumi juga membuka peluang akses daerah dan juga berpotensi meningkatkan perekonomian daerah dan membuka lapangan kerja pemberdayaan serta kemandirian energi. Jika pemerintah ingin target 9500 MW energi listrik terbangkitkan dari energi panas bumi pada tahun 2020 maka hendaknya mulai saat ini seluruh faktor resiko bisa diminimalkan dan seluruh wilayah kerja potensial dimulai pengembangannya paling lambat tahun ini.
Sumber : EBTKE
0 komentar:
Posting Komentar